Muhammad Lukminto, juragan batik pendiri dan pemilik PT. SRITEX memulai bisnis sejak usia 20 tahun, tepatnya pada tahun 1966. Usai peristiwa G30S-PKI kala itu, pemerintah orde baru melarang segala sesuatu yang berhubungan dengan etnis cina. Akibat kebijakan itu Lukminto yang kala itu masih duduk di kelas 2 SMA Chong Hua Chong Hui yang berbasis cina harus berhenti sekolah. Sekolah Lukminto di tutup, ia akhirnya mengikuti jejak kakaknya Le Ay Djing atau emilia yang telah lebih dulu berdagang di pasar klewer.
Orang tua Lukminto memberikan
modal Rp. 100 ribu, dari modal itu, dia membeli kain belaco di semarang dan
Bandung, kemudian menjualnya di pasar klewer, pasar kliwon, dan sejumlah pabrik
batik rumahan dengan berkeliling sejak pagi hingga petang. Hasil jualan keliling bisa membeli dua buah
kios di pasar klewer, sejak mengembangkan toko itulah, bisnis Lukminto makin
berkembang, hingga mendirikan PT. Sri Rejeki Isman atau sekarang lebih dkenal
dengan sebutan PT. SRTEX.
Tumurun Privat Musium merupakan Musium seni rupa yang baru
saja dibuka di kota Solo, diresmikan dan dibuka pada bulan maret 2018, oleh
Bapak Iwan Kurniawan Lukminto (Wawan) putra ke empat dari Bapak H.M. Lukminoto
pendiri PT. SRITEX. Musium ini didirikan karena banyaknya koleksi mobil antik peninggalan
almarhum Pak Lukminoto yang sudah tidak muat dan tidak terurus di garasi mobil
rumahnya, Alhasil berdirilah Tumurun Privat Musium ini.
Tumurun Privat Musium menyuguhkan
barang – barang berniali seni tinggi yang harganya bisa ratusan juta bahkan
Milyaran rupiah. Seratus koleksi lukisan karya seniman – seniman ternama dari berbagai
negara dan tiga mobil antik yang di pajang epic di dalamnya. Lantai satu semua
karya seni kontemporeri art yang artinya masih produktif terus, karya seniman
muda, dan masih berkarya sampai sekarang. Lantai dua di isi karya seni modern
art yang artinya sudah tidak produktif dan senimannya sudah tidak ada.
Memasuki Tumurun Privat Musium
ini harus mematuhi peraturan yang di jelaskan oleh guide, yang pertama kita
hanya bisa melihat karya seni di lantai satu saja, alasannya karena di lantai
dua merupakan karya seni yang sudah tidak di produksi lagi, dan senimannya
sudah tidak ada. Di dalam musium terdapat meja dan kursi yang tidak boleh di
sentuh karena bagian dari karya seni, dilarang menyentuh semua karya seni yang
ada di musium ini, karena uap air yang kita hasilkan di dalam tubuh kita akan
diserap di dalam kanfas, dan menyebabkan kanfas itu berjamur serta kita harus
menjaga jarak aman sekitar 50 cm dari karya seni yang di pajang.
Patung Floating Eyes Karya Wedhar Riyadi |
Karya favorit di Musium Temurun
ini adalah patung Floating Eyes yang tinggnya tujuh meter dan Lima meter,
menggambarkan di zaman now ini yang serba digital kita sudah tidak punya
privasi, kita di awasi oleh banyak orang, kegiatan kita diketahui oleh banyak
orang di sosial media, Karya Wedhar Riyadi. Karya seni ini juga pernah di
pajang di ArtJog 2017.
Karya Edy Susanto |
Ada juga lukisan yang terbuat
dari aksara – aksara jawa yang sangat mengagumkan, karya dari Edy susanto ini
tidak sembarangan, tulisannya bisa di baca dan menceritakan tentang penangkapan
dan pengasingan diponegoro, pernah dilukis oleh raden saleh, dan dilukis
kembali dengan gayanya edy susanto, nah yang lebih mengagumkan lagi jika malam
dan terkena sinar UV akan muncul lukisan baru, seperti dua lapis lukisan yang
menjadi satu, lukisan itu karya fransiskus kubota ( bapak Modern art dunia).
Surga Meleleh |
Karya Agus Suwage - Surga Meleleh |
Karya Agus Suwage yang
mencertakan tentang duniawinya, yang berjudul surga meleleh, agus menggambarkan
aktivitas duniawi dan berangan apakah surgawi akan sama seperti di duniawi. Di dalam
karyaseninya juga terdapat lukisan wajahnya yang sedang memakai topi dan
kacamata kesayangannya, karya yang sangat luar biasa. Karya seni ini terdiri
dari 49 panel yang medianya terdiri dari kertas dan cat air yang menggambarkan
kehidupan pribadinya.
Culpa mea Culpa mea culpa maxima culpa-karya Sigit Santoso |
Sigit Santosa dari Ngawi yang
menciptakan karya seni yang berjudul Mea “culpa…mea culpa…mea maxima culpa”, yang
berasal dari bahasa latin yang artinya saya berdosa, saya berdosa, saya sungguh
berdosa, ini di ambil dari doa taubat agama khatolik, terlihat dua sosok orang, laki-laki sangat menyesal, dan
perempuan yang sedang hamil.
Masih banyak sekali karya seni
yang dipamerkan di Musium Temurun ini, yang semuanya luarbiasa. Diantaranya ada
Mochtar Apin, Henk Ngantung, Arie Smit, Antonio Blanco, Ahmad Sadali, Affandi,
Lee Man Fong, Emil Rizek, But Muchtar, Srihadi Soedarsono, Hendra Gunawan,
S.Sudjojono, H. Widayat, Johan Rudolf Bonnet, Walter Spies, Willem Gerard
Bonnet, Walter Spies, Willem Gerard Hofker, Sudjana Kerton, Basoeki Abdullah
hinga Raden saleh.
Jika kalian Ingin datang kesini
tidak bisa langsung masuk ya, karena harus reservasi di jauh – jauh hari,
kalian bisa whatsup di Contact Person di bawah tulisan ini, atau bisa reservasi
melalui email. Kita akan di jelaskan makna yang tersirat dari masing – masing karya
seni oleh guide di Tumurun Privat musium ini, dan Musium ini gratis.
CP MUSIUM :
WA : +6281227002152
Telp. : 0271-7463320
Alamat : Jl. Kebangkitan Nasional
No. 2 Sriwedari, Laweyan, Solo
Ajib...
BalasHapusMenambah pengetahuan kita
Alhamdulillah semoga bermanfaat
HapusOm aku lupa nulis cerita ini dong, haha dan teringatkan kembali.
BalasHapustulisan mu membantuku mengingatkan serpihan kenangan yang hampir hilang.
Wow Alhamdulillah dong, Keren ya musiumnya
Hapus